banner 728x250

Sri Mulyani Terisak di Rapat APBN 2025: Tanda Krisis Moral, Bukan Sekadar Anggaran

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com.Jakarta. – Suasana rapat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang biasanya berlangsung formal dan teknokratis berubah haru ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tampak tak kuasa menahan emosi. Dalam momen yang jarang terjadi, sang bendahara negara terlihat terisak, menahan tekanan yang tampak bukan sekadar bersumber dari soal angka-angka fiskal, tetapi karena beban moral dan krisis kepercayaan terhadap arah pengelolaan negara.

banner 325x300

Banyak yang menafsirkan momen tersebut sebagai puncak dari kelelahan seorang teknokrat yang sejak lama mencoba menegakkan tata kelola negara dalam sistem yang penuh lubang korupsi dan manipulasi. Dalam ruang rapat itu, Sri Mulyani seolah sedang menyuarakan jeritan banyak warga negara: pertanyaan mendasar tentang ke mana sebenarnya uang negara dialirkan.

Situasi APBN 2025 yang disebut-sebut mengalami defisit tajam—bahkan lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya—memunculkan spekulasi publik. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negeri kaya sumber daya alam. Dari tambang emas, batu bara, nikel, minyak, hingga hasil laut, semuanya tersedia melimpah. Tetapi mengapa negara justru tampak “miskin” saat menyusun anggaran belanja untuk rakyatnya?

Kecurigaan pun merebak. Banyak pihak menyebut kondisi ini sebagai akibat dari merajalelanya mafia ekonomi yang mengendalikan hulu dan hilir kekayaan alam negeri ini. Mereka bergerak sistematis, menyusup dalam birokrasi, memainkan izin tambang, mengatur ekspor-impor, dan menjalin relasi kotor dengan politisi serta oknum aparat. Dalam bahasa publik: negara seolah dikuasai oleh “gerombolan amperatus”—sebuah istilah yang mengacu pada elit predatoris yang menguras daya negara demi kepentingan segelintir orang.

Kondisi ini diperparah oleh kinerja institusi penegak hukum yang dinilai publik tak lagi mencerminkan semangat keadilan. Alih-alih memperbaiki tatanan, banyak justru menjadi bagian dari jaringan yang mengaburkan kasus, melindungi aktor-aktor besar di balik layar, dan mempermainkan hukum demi kepentingan kekuasaan. Pengusutan kasus korupsi kerap berhenti di level simbolik, dengan hasil yang kabur-kaburan—bahkan penyelidikan terhadap kasus-kasus besar pun menguap tanpa kejelasan.

Pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga, Prof. Andri Sutanto, menyebut fenomena ini sebagai “titik lelah negara.” “Sri Mulyani menangis bukan karena tidak bisa menjumlahkan anggaran. Ia menangis karena melihat tatanan negara yang rusak dari dalam. Ketika institusi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan ikut bermain di dalam sistem predatoris, itu bukan lagi soal teknis APBN, tapi krisis etika negara,” jelasnya.

Ia menambahkan, kondisi ini mencerminkan kerapuhan sistem akuntabilitas dan hilangnya keberanian institusional. “Ketika mafia ekonomi bisa mengatur kebijakan dan hukum tidak berjalan secara netral, rakyat kehilangan pegangan. Negara seolah hadir hanya sebagai institusi pembuat pajak, bukan pelindung rakyat,” tambahnya.

Realitas di lapangan menguatkan narasi ini. Di berbagai daerah, masyarakat lokal yang terdampak langsung oleh aktivitas tambang, proyek infrastruktur, dan ekspansi ekonomi skala besar kian tersingkir dari ruang hidupnya. Wilayah pesisir tercemar, hutan digunduli, dan masyarakat adat tercerabut dari akar budaya dan ekonominya. Namun di saat yang sama, anggaran negara untuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial justru menyusut, terseret arus defisit yang tak bisa dijelaskan dengan wajar.

Bukan kali pertama Sri Mulyani menyoroti kebocoran anggaran, ketidaktepatan sasaran subsidi, hingga potensi penyalahgunaan dana publik. Namun apa daya seorang teknokrat jika sistem di sekitarnya tidak memberi ruang perbaikan? Justru banyak program reformasi fiskal yang ia dorong kerap dilumpuhkan oleh kepentingan politik jangka pendek dan tekanan oligarki.

Pakar ekonomi politik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Meike Rukmana, menilai bahwa Indonesia tengah berada di persimpangan jalan. “Kalau elite negeri ini terus menutup mata dan hanya menjadikan APBN sebagai dokumen legalitas kekuasaan, bukan sebagai instrumen keadilan sosial, maka bukan hanya rakyat yang dikorbankan, tapi masa depan bangsa,” katanya.

Ia menyebut momen tangis Sri Mulyani sebagai simbol bahwa negara harus segera membenahi dirinya. “Itu bukan tangisan pribadi. Itu adalah suara hati seorang pelayan negara yang dikepung sistem yang tidak ingin berubah. Dan jika suara ini tidak kita dengar, maka kelak tangisan rakyat akan lebih nyaring—dalam bentuk kemiskinan, konflik, dan kehilangan harapan,” pungkasnya.

APBN bukan sekadar urusan neraca. Ia adalah cermin dari nilai-nilai yang dihidupi oleh negara: apakah berpihak pada rakyat atau pada segelintir elite. Maka, jika air mata seorang menteri keuangan tak mampu menggerakkan reformasi, mungkin sudah saatnya rakyat yang bergerak. Karena pertanyaan itu tetap menggantung: ke mana sebenarnya kekayaan negeri ini mengalir, dan mengapa rakyat terus diminta berhemat, sementara para koruptor terus berpesta?.”(Tim Redaksi SF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *