banner 728x250
Berita  

4.351 Polisi Harus Kembali ke Markas: Para Ahli Hukum Nilai Putusan MK sebagai Titik Balik Penataan Negara

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com.Jakarta — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil menggemparkan struktur birokrasi Indonesia. Data internal pemerintah menunjukkan sekitar 4.351 personel Polri yang selama ini tersebar di kementerian, lembaga negara, hingga BUMN kini diwajibkan kembali ke markas masing-masing. Efeknya langsung terasa: kursi staf ahli, deputi, hingga komisaris yang selama ini diisi aparat aktif mendadak kosong, membuat banyak instansi publik seperti “kehilangan gigi” dalam semalam.

banner 325x300

Namun di balik riuh politik, para ahli hukum tata negara memandang keputusan MK sebagai momentum koreksi konstitusional yang penting—bahkan mendesak.

Guru besar hukum administrasi publik dari salah satu universitas negeri menilai putusan MK ini sebagai “pengembalian garis batas yang selama bertahun-tahun kabur.” Menurutnya, praktik penempatan polisi aktif di jabatan sipil bertentangan dengan prinsip dasar civil supremacy.

“Negara ini adalah negara sipil yang menggunakan perangkat keamanan sebagai alat, bukan sebagai pemegang jabatan publik. Ketika polisi aktif duduk sebagai pejabat sipil, prinsip itu runtuh,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa rangkap jabatan bukan sekadar persoalan struktur organisasi, tetapi menyangkut konflik kepentingan, akuntabilitas, dan netralitas birokrasi.

Penjelasan Akademisi Tata Negara: Negara Bukan Ruang Magang Multi-Peran

Pakar hukum tata negara dari Jakarta mengibaratkan putusan MK sebagai “meteor kecil” yang jatuh ke ruang rapat kementerian.

“MK sedang mengatakan bahwa negara bukan tempat magang multi-role. Kalau mau jabatan sipil, lepas dulu seragam. Itu bukan larangan, itu penataan,” katanya.

Menurutnya, argumentasi pemerintah soal resiprokal untuk membenarkan penempatan aparat aktif di jabatan sipil memang tidak memiliki dasar hukum. Resiprokal, jelasnya, adalah konsep hubungan antarnegara, bukan antar-jabatan dalam satu pemerintahan.

Kritik Terhadap Praktik Lama: Birokrasi Seperti ‘Taman Seragam Ganda’. Sejumlah analis menilai praktik penempatan aparat selama ini membuka pintu bagi anomali kewenangan. Ada pejabat yang memegang dua sumber pengaruh sekaligus—komando institusi dan kewenangan jabatan sipil—yang pada gilirannya berpotensi menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan.

“Kita menyaksikan tumpang tindih otoritas yang seolah-olah dibiarkan berlangsung lama. Putusan MK mengakhiri praktik yang tidak sehat ini,” kata seorang peneliti kebijakan publik.

Ia menegaskan, jabatan sipil seharusnya dikelola oleh ASN netral yang tunduk pada sistem merit, bukan aparat aktif yang membawa kultur institusi berbeda.

Syamsul Jahidin, Pemohon dari Kelompok ‘Kecil’, Tapi Efeknya Besar. Ahli hukum menilai keberanian Syamsul Jahidin—pemohon yang disebut sebagai satpam sekaligus advokat asal Mataram—sebagai wujud partisipasi warga negara dalam menjaga konstitusi.

“Seorang warga negara bisa mengubah arsitektur hukum negara. Ini pembelajaran demokrasi yang sangat penting,” kata seorang pakar hukum konstitusi.

Ia menambahkan, dalam tradisi negara hukum, pembaruan memang sering datang dari individu yang tidak memiliki jabatan, tetapi memiliki argumen.

Dalam putusannya, MK memberi waktu dua tahun sebagai masa transisi. Para ahli menilai ini sebagai langkah bijak agar instansi tidak lumpuh mendadak, sekaligus memberi kesempatan Polri menata kembali struktur internalnya.

“Ini semacam detoksifikasi dari kecanduan jabatan rangkap. Negara perlu keseimbangan, dan putusan MK adalah langkah moderasi yang tepat,” ujar seorang akademisi kebijakan publik.

Para pakar memprediksi beberapa implikasi jangka pendek:

ratusan kursi strategis di kementerian dan lembaga akan kosong,

proses rekrutmen ASN untuk jabatan tinggi akan dipercepat,

Polri harus menyiapkan redistribusi ribuan personel,

BUMN harus menata ulang komposisi komisaris yang selama ini diisi aparat aktif.

Namun jangka panjangnya dianggap jauh lebih penting: terbangunnya struktur negara yang lebih jelas, transparan, dan bebas dari tumpang tindih kewenangan.

Para ahli sepakat bahwa kembalinya ribuan polisi aktif ke markas bukanlah bentuk “pengusiran,” tetapi reposisi peran.

“Penegak hukum seharusnya berada di jalur penegakan hukum, bukan di ruang anggaran, ruang kebijakan publik, atau ruang politik,” tegas seorang profesor hukum tata negara senior.

Mereka menilai putusan MK sebagai momentum besar untuk memulihkan netralitas birokrasi, memperkuat supremasi sipil, serta memastikan peran masing-masing institusi berjalan sesuai konstitusi.

Di tengah ironi politik dan drama birokrasi, para ahli justru melihat putusan ini sebagai salah satu langkah paling progresif MK dalam satu dekade terakhir—langkah yang bukan hanya mengatur ulang jabatan, tetapi menata kembali wajah negara.

Dengan sirene yang kini berbunyi lebih pelan, para ahli sepakat: ini bukan tanda bahaya, tetapi tanda kesadaran.

arf-6

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *