sidikfokusnews.com-Tanjungpinang. — Di tengah hiruk pikuk kota, deru kendaraan dan lalu lalang pejalan kaki, suara gitar akustik dan nyanyian sederhana kerap hadir sebagai penghibur yang tulus. Dari sudut trotoar hingga warung kopi, Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Tanjungpinang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap kota ini. Tahun ini, komunitas itu memasuki usia ke-25, sebuah tonggak sejarah bagi para musisi jalanan yang tak sekadar menyanyi, tapi juga bertahan hidup dan merawat mimpi.
Didirikan pada 24 Agustus 2000, KPJ Tanjungpinang lahir dari keresahan dan solidaritas para pemusik jalanan yang ingin memiliki wadah, suara, dan arah. Komunitas ini bukan sekadar perkumpulan pengamen, melainkan ruang kolektif bagi para musisi marginal, anak jalanan, dan insan kreatif yang memilih musik sebagai bahasa perjuangan mereka.
Ketua KPJ Tanjungpinang periode 2021–2025, Said Ahmad Syukri, menegaskan pentingnya mengubah stigma terhadap penyanyi jalanan. “Kami bukan sekadar pengamen. Kami ini musisi. Kami mencari rejeki dengan karya, dengan suara dan alat musik kami,” tegasnya. Ia berharap agar masyarakat dan pemerintah mulai memandang KPJ sebagai bagian dari ekosistem seni kota, bukan sebagai pengganggu lalu lintas atau simbol kemiskinan.
Lebih jauh, Said mengungkapkan bahwa KPJ tidak menginginkan belas kasihan. Mereka hanya ingin diakui dan diberi ruang. “Kalau ada event musik, KPJ harus dilibatkan. Kami siap tampil, siap menunjukkan bahwa anak jalanan juga punya nilai seni,” ujarnya penuh semangat. Hingga kini, KPJ masih bergerak secara swadaya, dan hanya sekali mendapat bantuan sistem audio pada 2023 dari Pemerintah Kota Tanjungpinang.
Meski minim dukungan formal, KPJ telah membuktikan kontribusinya. Mereka beberapa kali diundang dalam kegiatan resmi, seperti peringatan HUT Polisi Militer Angkatan Laut (POMAL) pada 2022 dan acara kebangsaan di Korem pada 2021. Keterlibatan ini menjadi bukti bahwa semangat nasionalisme dan seni bisa berjalan berdampingan, bahkan dari jalanan sekalipun.
Rencananya, KPJ akan merayakan ulang tahun ke-25 pada 24 Agustus 2025 di Panggung Melayu Square. Lokasi ini dipilih sebagai simbol keterbukaan ruang budaya kota, sekaligus bentuk pengakuan terhadap komunitas yang telah hadir selama seperempat abad.
Agus Jurianto, Ketua DPRD Kota Tanjungpinang, menyampaikan bahwa keberadaan pengamen jalanan memerlukan perhatian serius dari pemerintah daerah. Ia menekankan pentingnya program pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota KPJ. “Pengamen jalanan itu datang dari latar belakang sosial yang beragam. Mereka perlu diberi kesempatan untuk berkembang melalui jalur yang sesuai,” ungkapnya.
Pendapat serupa disampaikan oleh Dr. M. Daryanto, dosen seni pertunjukan dari Universitas Negeri Jakarta. Ia menilai KPJ sebagai representasi seni rakyat yang otentik dan bernilai tinggi. “Musisi jalanan merepresentasikan denyut budaya urban. Ketika mereka terorganisasi dan produktif secara kreatif, seharusnya ini menjadi perhatian dan mitra bagi pemerintah daerah,” jelasnya. Daryanto mendorong legalisasi ruang tampil, fasilitasi panggung, dan pelatihan vokasional sebagai bentuk dukungan konkret.
Sementara itu, Fika Suryaningsih, seorang antropolog musik dan pengamat seni urban, menilai KPJ sebagai indikator inklusivitas kota terhadap keragaman ekspresi seni. Menurutnya, kehadiran komunitas seperti KPJ adalah hal yang esensial bagi sebuah kota yang ingin meneguhkan identitas budayanya. “Tanjungpinang, sebagai kota budaya, semestinya menjadikan keberadaan KPJ sebagai bagian dari ekosistem kesenian daerah, bukan hanya pengisi ruang sunyi di perempatan lampu merah,” ujarnya.
Fika juga menyarankan agar peringatan 25 tahun KPJ menjadi momentum bersama antara komunitas, pemerintah, dan pelaku budaya untuk merancang skema kolaborasi yang berkelanjutan. Termasuk di dalamnya akses perlindungan hukum, kesempatan tampil di ruang publik yang legal, serta program sertifikasi seniman jalanan yang dapat menaikkan derajat mereka secara sosial.
Kini, jelang usia perak, KPJ Tanjungpinang tidak hanya menjadi saksi hidup dari perjuangan musisi jalanan, tetapi juga simbol ketahanan dan kreativitas yang tak mudah padam. Sebagaimana dikatakan Said Ahmad Syukri, “Sudah waktunya panggung kami tidak hanya di trotoar.” Sebuah pernyataan yang sederhana, tapi mengandung harapan yang dalam—bahwa seni, dari mana pun ia berasal, layak dihormati.”(Arf)