sidikfokusnews.com. Pulau Penyengat.-Perjuangan Lembaga Adat Kesultanan Riau-Lingga untuk mendapatkan pengakuan sah dari negara telah berlangsung selama lebih dari 16 tahun. Lembaga ini, yang digawangi oleh keturunan langsung Kesultanan, langsung dari terengganu dan singapura di wasiat kepada Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga agar menjaga amanah tersebut termasuk Tengku Muhammad Fuad sebagai pewaris sah, tidak hanya berjuang untuk eksistensi lembaga, tetapi juga demi penyelamatan warisan sejarah, budaya, dan tanah adat Kesultanan Melayu di Kepulauan Riau.
Sejak tahun 2008, Tengku Fuad menyuarakan aspirasi dan informasi mengenai status Pulau Penyengat dan warisan Kerajaan Riau-Lingga hingga ke Istana Negara. Dalam sebuah pertemuan penting yang digelar di Jakarta pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia diundang sebagai perwakilan Kesultanan Riau-Lingga dan bertatap muka langsung dengan tokoh-tokoh negara seperti Menteri Sudi Silalahi dan Aburizal Bakrie.
> “Saya sampaikan bahwa Penyengat itu adalah bekas ibu kota Kerajaan Riau-Lingga, pusat peradaban dan pusat pemerintahan Melayu. Tapi sekarang, ironisnya, Penyengat hanya dianggap sebagai desa. Ini berbeda dengan Aceh dan Yogyakarta yang diakui secara khusus,” ujar Tengku Fuad.
Pernyataan tersebut menuai perhatian, dan dijanjikan akan dikaji lebih lanjut oleh kementerian terkait, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, hingga kini, tidak ada kejelasan tindak lanjut dari janji itu.
Dari Keterbatasan Hingga Pendirian Lembaga Adat
Dalam kondisi terbatas, pada tahun 2018, keluarga besar Kesultanan mendirikan Lembaga Adat Kesultanan Riau-Lingga secara resmi sebagai upaya melestarikan nilai-nilai budaya dan sejarah, serta memperjuangkan hak-hak adat yang tergerus arus modernitas dan birokrasi.
Namun perjuangan panjang mereka tidaklah mudah. Enam surat resmi telah dilayangkan kepada Gubernur Kepulauan Riau untuk mengajukan audiensi, namun tidak satupun ditanggapi secara komprehensif. Gubernur Ansar Ahmad disebut menyarankan untuk melanjutkan ke Kementerian Kebudayaan, namun prosedur itu pun buntu.
Lembaga Adat juga telah mengupayakan pertemuan dengan DPRD Provinsi Kepulauan Riau, para tokoh masyarakat, akademisi, hingga sejarawan untuk menyusun pendekatan ilmiah dan sistematis terhadap rekonstruksi sejarah dan legitimasi lembaga adat.
Tanah Hidayat dan Warisan Leluhur yang Terancam
Salah satu titik krusial yang menjadi sumber konflik adalah tanah hidayat di Sungai Carang, Kota Tanjungpinang. Di sinilah terletak pemakaman para pendiri dan leluhur Kesultanan Riau-Lingga seperti Daeng Marewah dan Daeng Celak, figur penting dalam sejarah Melayu dan pendiri Dinasti Riau-Lingga.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, kawasan tersebut mulai dikavling dan diduga diperjualbelikan oleh oknum yang tidak memiliki hubungan sah dengan Kesultanan.
> “Ini bukan sekadar soal tanah. Ini pemusnahan identitas. Tanah makam para pendiri kerajaan mulai dicaplok. Kalau tidak dihentikan, ini bentuk penghilangan sejarah yang bisa kita sebut sebagai genosida budaya,” jelas Tengku Fuad.
Pandangan Sejarawan dan Aspek Hukum
Menurut Dr. Arifuddin Wajdi, sejarawan Universitas Maritim Raja Ali Haji, pengakuan terhadap Kesultanan Riau-Lingga tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah nasional.
> “Kesultanan Riau-Lingga adalah entitas politik dan budaya yang sah secara historis. Pulau Penyengat adalah pusatnya, dan memiliki kedudukan setara dengan keraton-keraton lain seperti Kesultanan Yogyakarta atau Kesultanan Deli. Sayangnya, warisan ini belum mendapat rekognisi dari negara secara utuh.”
Dalam aspek hukum, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.” Hal ini ditegaskan kembali dalam UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Namun, sejauh ini belum ada pengakuan formal dalam bentuk peraturan daerah atau keputusan kepala daerah yang menegaskan posisi hukum Lembaga Adat Kesultanan Riau-Lingga. Padahal, landasan konstitusional dan yuridis telah tersedia.
Dugaan Intervensi Asing dan Arah Perjuangan Ke Depan
Beberapa kalangan bahkan mencurigai adanya skenario sistematis dari kekuatan asing yang mencoba menghapus jejak Melayu sebagai kekuatan budaya dan politik di Selat Malaka.
> “Kita tak bisa menutup mata bahwa kawasan ini strategis. Jika budaya Melayu dilenyapkan, maka identitas maritim dan nasional bisa terganggu. Itu kenapa perjuangan ini bukan soal nostalgia, tapi menyangkut ketahanan budaya dan kedaulatan sejarah,” kata Dr. Yusri Abadi, pakar geopolitik budaya.
Tengku Muhammad Fuad dan Lembaga Adat menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk menjaga warisan yang telah dititipkan oleh para leluhur. Ia berharap pemerintah daerah maupun pusat segera memberi perhatian lebih serius terhadap legitimasi Lembaga Adat Kesultanan Riau-Lingga dan keselamatan situs-situs sejarah yang semakin terancam.
> “Kami siap duduk bersama pemerintah, sejarawan, dan masyarakat adat lainnya untuk mencari jalan terbaik. Tapi jangan biarkan sejarah kami dihapus dengan cara yang halus tapi mematikan.”
Pengakuan terhadap Lembaga Adat Kesultanan Riau-Lingga bukan hanya soal kehormatan masa lalu, tetapi juga landasan untuk masa depan Kepulauan Riau sebagai pusat budaya Melayu yang bermartabat.”(Arf)