banner 728x250

“124 Pulau dalam Bayang-Bayang: Ketika Kearifan Lokal Dipinggirkan, Kapitalisme Meluas Lewat Jalan Resmi”

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com. Tanjungpinang.-Ketika proyek Jembatan Batam-Bintan pertama kali digulirkan, banyak pihak terpesona oleh kemasan narasi “konektivitas” dan “pertumbuhan ekonomi”. Namun, seperti telah dikritisi dalam analisis terdahulu “Menakar Kemanfaatan Jembatan Batam-Bintan”, proyek tersebut lebih mencerminkan hasrat pusat atas ruang-ruang marjinal, ketimbang menjawab kebutuhan riil masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

banner 325x300

Kini, pola yang sama muncul dalam bentuk lebih masif: melalui rencana finalisasi revisi PP 46/2007, BP Batam dikabarkan akan mengelola 124 pulau, bukan lagi 8 sebagaimana amanat awal. Tanpa partisipasi publik, tanpa transparansi, dan—yang paling menyakitkan—dengan nyaris nihilnya suara penolakan dari pihak Provinsi Kepri.

Negara Menyerahkan Wilayah, Daerah Menunduk Diam. Dalam rapat penting pada 14 Juli lalu, utusan dari Provinsi Kepulauan Riau hadir. Namun, seperti diceritakan oleh beberapa narasumber yang memantau langsung jalannya forum, utusan tersebut “mangguk-mangguk saja”. Tidak ada sikap, tidak ada perlawanan, tidak ada argumentasi hukum yang dikedepankan.

“Marwah rakyat Kepri dipertaruhkan di situ. Tapi sayangnya, tidak ada keberanian untuk bersikap,” ujar seorang tokoh adat Melayu yang menyesalkan sikap diam para pejabat.

Respons Wakil Gubernur Kepri pun tak lebih dari komentar singkat: “Nanti saya monitor.” Sementara tokoh masyarakat seperti Huzrin Hood, yang memiliki sejarah perjuangan panjang dalam penguatan wilayah pesisir dan otonomi daerah, justru tidak dilibatkan dalam forum formal pengambilan keputusan.

“Saya pikir ini harus diseriusi dengan membentuk tim. Kita punya banyak datuk dan tokoh lokal yang mengerti betul tentang sejarah dan marwah daerah. Kenapa mereka tak diundang?” kata seorang akademisi dari Tanjungpinang.

Menurut informasi yang berkembang, ekspansi BP Batam hingga 124 pulau dilakukan dengan mengacu pada pasal-pasal revisi PP 46/2007 yang saat ini tengah digodok. Namun, proses ini dilakukan secara senyap. Tak ada dokumen resmi yang dapat diakses publik. Tak ada konsultasi dengan DPRD Kepri, DPRD kabupaten/kota, apalagi masyarakat adat atau nelayan setempat.

Prof. Mas Achmad Santosa, pakar hukum lingkungan dan tata ruang dari UI, menilai bahwa ekspansi semacam ini justru dapat berpotensi melanggar UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.

“Kalau satu lembaga pusat seperti BP Batam tiba-tiba diberi kewenangan penuh mengelola 124 pulau, maka itu berbahaya. Daerah menjadi penonton, kearifan lokal diabaikan. Ini bentuk baru dari sentralisasi terselubung,”

Hal senada disampaikan oleh Dr. Alimuddin, M.Si, ahli kelautan dan pesisir dari Universitas Hasanuddin:

“Pulau-pulau kecil punya daya dukung dan daya tampung terbatas. Kita tak bisa menyamakan pengelolaan Pulau Batam yang berbasis industri dengan pulau-pulau kecil yang hidup dari laut, tradisi, dan ekosistem rapuh. Kalau pendekatannya masih kapitalistik, ya hancur semua.”

Ekonomi Pancasila: Alternatif yang Ditelantarkan

Dalam buku MORE THAN BATAM, telah ditegaskan bahwa pemerintah daerah tidak semestinya tunduk dan membebek pada pusat. Semangat desentralisasi adalah amanat reformasi dan konsensus nasional dalam NKRI. Tapi kini, Kepri justru tampak seperti menyerahkan satu per satu kedaulatannya, baik dalam pengelolaan wilayah, penataan ruang laut, hingga investasi yang acapkali tak berpihak pada masyarakat.

Apa yang sedang terjadi menunjukkan bahwa Indonesia masih gagal menemukan titik temu antara pembangunan dan keberlanjutan. Sistem ekonomi kapitalistik—yang berorientasi pada pertumbuhan dan penguasaan sumber daya oleh korporasi besar—terus mendikte arah kebijakan. Padahal, jawaban dari semua ini sebenarnya telah tersedia dalam konstitusi: ekonomi Pancasila.

Ekonomi Pancasila menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, bukan objek. Ia menjunjung tinggi keadilan sosial, demokrasi ekonomi, dan pemerataan kesejahteraan. Dalam sistem ini, masyarakat lokal tidak hanya didengar, tapi ikut menentukan nasib ruang hidupnya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, menolak ekspansi BP Batam bukan berarti menolak pembangunan. Tapi menolak pemiskinan struktural yang dibungkus jargon kemajuan. Menolak pengabaian terhadap masyarakat pesisir. Menolak kerusakan lingkungan yang tak bisa dibayar dengan pertumbuhan angka PDRB.

Otonomi daerah bukan hadiah. Ia adalah hasil perjuangan panjang. Dan dalam konteks Kepri, ia adalah benteng terakhir untuk mempertahankan nilai-nilai budaya, adat, dan kedaulatan laut yang telah diwariskan turun-temurun.

Jika benar BP Batam kini didukung oleh “penguasa misterius” di pusat, maka Kepri harus lebih berani bersuara. Jangan sampai 124 pulau yang selama ini dijaga oleh nelayan, adat, dan masyarakat pesisir justru berpindah tangan ke investor dengan bendera asing—atas nama efisiensi dan pertumbuhan.

Ini bukan hanya soal pulau. Ini soal arah sejarah. Dan sejarah hanya berpihak pada mereka yang berani mengambil sikap.

Kami membuka ruang bagi Pemprov Kepri, BP Batam, dan Kementerian terkait untuk memberi klarifikasi resmi atas isu ini. Namun hingga berita ini diturunkan, upaya konfirmasi Kepada BP Batam, Amzakar Ahmad, belum mendapatkan jawaban. WhatsApp tak dibalas. Narasi terus berkembang, tapi publik tetap membisu.”(Arf)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *